Semarang, 2025 — Ketika pengalaman pribadi berubah menjadi riset akademik yang bermakna, itulah yang tercermin dari perjalanan Hanun, alumni International Undergraduate Program Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro. Berangkat dari pengalamannya sebagai mahasiswa pertukaran di Korea Selatan, Hanun berhasil menggambarkan dinamika identitas perempuan Muslim berhijab di tengah masyarakat yang homogen secara budaya dan visual. Melalui skripsinya yang berjudul “Understanding the Identity, Negotiation, and Cultural Adaptation of Muslim Students with Hijab in South Korea”, Hanun merekam jejak pengalaman dan perjuangan identitas Muslim dalam ruang lintas budaya.
Pengalaman sebagai mahasiswi pertukaran pelajar justru membawanya pada topik skripsi yang mendalam dan penuh tantangan. “Saya menyadari bahwa sebagai perempuan berhijab di Korea Selatan, Saya menjadi sosok yang “visibly different.” Banyak orang langsung tahu kalau saya adalah seorang foreigner hanya dari penampilan,” ujarnya. Tatapan asing, jarak sosial, hingga beberapa pertanyaan tentang agama dan penggunaan hijab menjadi bagian dari kesehariannya selama di Korea.
Hanun mengungkapkan bahwa pandangan dan sikap masyarakat Korea Selatan terhadap perempuan Muslim berhijab tidak lepas dari pengaruh narasi global yang berkembang, terutama citra yang dibentuk oleh media Barat yang masih sering menggambarkan Muslim secara negatif. Ia menceritakan bahwa ketika masyarakat Korea berinteraksi dengan orang asing berpenampilan Barat, mereka cenderung menunjukkan antusiasme. Namun, respons berbeda ia rasakan sebagai perempuan berhijab asal Asia Tenggara, sikap yang lebih canggung dan berjarak justru lebih sering muncul. Pengalaman inilah yang kemudian memotivasinya untuk meneliti bagaimana mahasiswi berhijab asal Indonesia menavigasi identitas diri mereka di tengah lingkungan sosial dan akademik yang penuh tantangan dari perbedaan budaya.
Melalui penulisan skripsinya, Hanun menerapkan pendekatan fenomenologi interpretatif untuk mengeksplorasi pengalaman pribadi “7” mahasiswi berhijab asal Indonesia yang menempuh studi di Korea Selatan. Proses pengumpulan data tidak berjalan mulus, terutama menyesuaikan waktu dan menemukan informan. “Jumlah mahasiswi berhijab yang memiliki pengalaman studi di Korea tidak banyak, sehingga saya perlu mengandalkan hasil networking saya ketika study abroad program supaya bisa terhubung dengan kontak informan,” ujarnya.
Namun, dengan dukungan dari dosen pembimbing dan wawasan dari mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif (MPKK) serta Intercultural Communication”, Hanun” sangat terbantu dalam penyusunan skripsinya. “MPKK memperkenalkan saya pada pendekatan seperti analisis resepsi, teori semiotika, fenomenologi, hingga analisis framing. Tetapi karena saya ingin menggali makna dan pengalaman secara mendalam, pendekatan fenomenologi interpretatif menjadi pilihan saya dalam melaksanakan tugas akhir,” tambahnya.
Dalam penelitiannya, Hanun menemukan bahwa sebagian besar tantangan yang dialami mahasiswi berhijab di Korea berupa mikro agresi yang sering tidak disadari, seperti pandangan yang kurang bersahabat, pengucilan sosial, serta pertanyaan yang terkesan intimidatif. Beberapa responden memilih menyiasatinya dengan memodifikasi penggunaan hijab agar tampak lebih ‘less-conservative’, memilih lingkar pertemanan yang menghindari penggunaan alkohol, hingga berupaya untuk belajar bahasa Korea secara mandiri supaya lebih mudah bergaul dengan sesama mahasiswa lokal.
“Salah satu responden bahkan sampai harus memilih tempat tinggal atau kos-kosan yang pemilik gedungnya ramah serta inklusif terhadap foreigner agar bisa senantiasa merasa aman dalam mengenakan hijab,” ungkapnya. Beragam pengalaman menarik ini ia rangkum dalam kerangka teori Negosiasi Identitas dan Komunikasi Adaptasi Lintas Budaya, memperlihatkan bagaimana para perempuan berhijab beradaptasi, menyesuaikan diri, dan tetap mempertahankan keyakinan mereka.
Selain mendalami isu identitas, Hanun juga menyoroti pentingnya empati dan edukasi lintas budaya. Ia percaya bahwa sebagian besar prasangka muncul karena ketidaktahuan. “Kalau kita marah duluan, itu nggak menyelesaikan masalah. Justru seharusnya kita edukasi mereka tentang budaya Muslim. Seperti penggunaan hijab, maknanya, dan nilai-nilai baik yang kita bawa,” tuturnya.
Hanun berharap hasil penelitiannya dapat menjadi bentuk pemberdayaan (empowerment) bagi pelajar Muslim khususnya perempuan, yang akan atau sedang tinggal di negara dengan mayoritas non-Muslim. Ia ingin skripsinya tidak hanya menjadi karya akademik, tapi juga panduan praktis dan inspirasi bagi sesama. “Aku ingin teman-teman yang berhijab tahu bahwa mereka tidak sendiri. Ada banyak cara untuk tetap menjadi diri sendiri sambil tetap bisa beradaptasi,” katanya.
Pesan motivasi juga tercurahkan kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi, terutama bagi mereka yang masih ragu dalam menentukan topik skripsi. Ia menekankan, “Communication is everywhere or how we live in our world, Be open with your surroundings”, ujarnya.
Hanun membuktikan bahwa latar belakang Ilmu Komunikasi, dapat dipadukan dengan kepekaan terhadap isu sosial dan keberanian untuk mengeksplorasi topik di luar kebiasaan. Harapannya, penelitian tentang pengalaman perempuan berhijab yanh menavigasi identitas di Korea Selatan dapat menghasilkan kontribusi yang tidak hanya dalam lingkup akademik, tetapi juga berdampak sosial. Perjalanannya meneliti identitas perempuan Muslim di Korea Selatan menjadi bukti bahwa ilmu komunikasi bisa menjembatani budaya, memperjuangkan representasi, dan membangun pemahaman lintas batas.
0 Komentar