Mendengarkan pengalaman kerja paksa yang dialami para mantan Anak Buah Kapal (ABK) kapal asing secara langsung menjadi pengalaman yang menginspirasi para mahasiswa jurnalistik Ilmu Komunikasi (Ilkom). Tak Hanya itu, dalam program ini mereka juga memiliki kesempatan menghasilkan output nyata berupa artikel berita tentang kerja paksa ABK Indonesia yang diterbitkan di berbagai kanal informasi termasuk media mainstream.
Berkolaborasi dengan International Labour Organization (ILO), Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) mengirim lima mahasiswi konsentrasi Jurnalisme Media dan Konten Kreatif untuk mengikuti pelatihan bertema “Training on Reporting Forced Labour for Journalism Students” sejak Senin (30/5) hingga Selasa (31/5) di Hotel GranDhika Semarang.
National Programme Coordinator ILO Jakarta 8.7 Accelerator Lab, Muhamad Nour, menuturkan program ILO mengajak prodi jurnalistik di Indonesia yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh ILO di berbagai negara, salah satunya di Singapura. Lokakarya yang mengundang jurnalis profesional dari Mongabay, Basten Gokkon dan Charles Autheman dari ILO ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik dan liputan media tentang penghapusan kerja paksa di sektor perikanan di Indonesia.
Didampingi Dr. Nurul Hasfi selaku dosen jurnalistik di Departemen Ilmu Komunikasi, lima mahasiswi yang menjadi perwakilan dari Kelas Konsentrasi Jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi yaitu Almira Khairunnisa Suhendra, Annisa Zulfalia Az Zahra, Dinda Khansa Berlian, Fahrina Alya Purnomo, dan Uli Zahro Irsyadiah. Para peserta dipilih dari kelas Mata Kuliah (MK) Jurnalisme Online dan hampir semuanya memiliki pengalaman dalam kegiatan pers kampus.
Selain dari Undip, ILO juga turut mengundang dua perguruan tinggi lainnya yaitu Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Brawijaya (UB). Sama seperti Undip, dua perguruan tinggi tersebut juga mengirim masing-masing lima perwakilan mahasiswanya.
Menurut Nurul Hasfi, acara ini sangat bermanfaat untuk mahasiswa konsentrasi Jurnalistik Prodi S1 Ilmu Komunikasi yang selama ini terbatas berinteraksi langsung dengan jurnalis profesional di kelas. Selain itu mereka juga mendapatkan pengalaman meliput isu yang terbilang berat yang selama ini jarang dibicarakan di kelas, yaitu human traficking ABK Kapal Indonesia yang bekerja pada kapal-kapal asing.
Selama dua hari pelatihan, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan meliputi pemaparan materi bertajuk “Fisheries Policy and Legal Framework in Indonesia, Intersection Between Fisheries and Labour”, yang disampaikan Basten Gokkon. Basten sendiri merupakan sosok wartawan profesional yang telah berpengalaman meliput kerja paksa ABK Indonesia dan telah mewawancarai puluhan ABK kapal. Basten menegaskan bahwa isu ini merupakan isu kompleks yang melibatkan aktor-aktor tertentu, mulai dari negara, agensi, hingga perusahaan kapal asing. Tak ayal jika permasalahan ini sukar dituntaskan. Berita yang mampu menggambarkan pengalaman para ABK kapal menjadi salah satu cara memahami isu ini dari sisi ABK kapal.
Setelah pemaparan materi usai, mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan cara wawancara dengan para mantan ABK yang saat ini sedang ditangani oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Selain mengalami perlakuan yang tidak layak selama bekerja di kapal asing, diantara mereka juga tidak dibayar penuh setelah kembali ke Indonesia.
Sesi wawancara dengan para ABK ini menjadi sesi yang paling menarik karena mahasiswa bisa mengasah intuisi untuk mencari angle berita dengan dipandu oleh mentor dari ILO, Muhamad Nour dan Gita Lingga.
Pada hari kedua mahasiswa turun lapangan untuk melakukan wawancara dengan narasumber lain yang diperlukan guna melengkapi data yang telah dimiliki dengan mengunjungi tiga lokasi yaitu pelabuhan baru Tegalsari, Dinas Ketenagakerjaan Tegal, serta manning agency di Pemalang. Disini para peserta secara langsung bisa mengkonfirmasi langsung pengalaman dari narasumber lain untuk memperdalam berita.
Annisa, selaku salah satu peserta mengungkapkan bahwa ia mendapatkan pengalaman yang tidak bisa ia dapatkan di bangku perkuliahan yang selama ini meliput isu yang ringan. Selain mendapatkan pengetahuan terkait jurnalistik, ia kini mengetahui lebih jauh tentang kerja paksa di sektor perikanan dan lokakarya ini menjadi pengalaman tidak terlupakan.
“Yang paling penting sih saya dan teman-teman bisa bertemu mantan ABK dan mendengarkan kisah mereka serta bagaimana perjuangan mereka dalam melawan kerja paksa,” ujar Annisa menambahkan.
Sepakat dengan Annisa, Dinda juga merasa sangat beruntung bisa menjadi peserta dalam lokakarya ini. Selain menambah wawasan dan pengalaman meliput isu kerja paksa, Dinda juga mengaku senang berkesempatan melihat langsung kehidupan ABK yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Bertemu dengan pihak ILO, SBMI, dan mahasiswa dari universitas lain juga pengalaman yang sangat berharga.
“Kemudian, dari pelatihan ini aku jadi semakin tahu standar liputan yang baik karena difasilitasi toolkit dan dilatih oleh profesional juga,” tambah Dinda.
Nurul mengatakan jika pelatihan ini berbeda dibanding pelatihan jurnalistik yang selama ini diikuti mahasiswa karena mahasiswa tidak hanya mendapat materi namun juga diwajibkan membuat output berupa artikel yang akan diterbitkan di media profesional maupun di sosial media dan platform lain. Karya ini akan menjadi portofolio mahasiswa yang pasti akan berguna untuk mereka saat lulus dan masuk di dunia kerja.
Charles Autheman dalam diskusi mengatakan bahwa mahasiswa di Singapura yang mengikuti program yang sama bisa menghasilkan karya yang dihargai oleh media mainstream di sana yang kemudian melakukan kerjasama secara berkelanjutan.
Penulis: Almira Khairunnisa Suhendra, Annisa Zulfalia Az Zahra, Dinda Khansa Berlian, Fahrina Alya Purnomo, dan Uli Zahro Irsyadiah.
Editor: Nurul Hasfi
0 Komentar