KULIAH DOSEN TAMU: Konstelasi yang Mengatur Kita dan Internet di Era Digital

Posted by Nur Inayah

April 5, 2022

Poster Kuliah Dosen Tamu (Sumber: Salsabila Febryanti)

Semarang – Pada tanggal 15 Maret 2022, Departemen Ilmu Komunikasi telah menyelenggarakan Kuliah Dosen Tamu dengan tema utamanya, yaitu “Content Regulation in Digital Platform: Regulation by Platforms, by Users, or by State Regulators.” Tema ini diangkat dengan tujuan untuk memberikan bekal ilmu kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi agar akrab dengan sistem yang mengatur kehidupan kita sebagai pengguna internet, dengan internet itu sendiri. Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang notabene akan terjun ke dunia digital diharapkan mampu memahami hal basis dalam bidang tersebut.

Kuliah Dosen Tamu sendiri ialah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen atau tenaga pengajar dari luar lingkungan perguruan tinggi dan ahli di bidang tertentu yang diundang dalam rangka mentransformasikan ilmu kepada mahasiswa. Pada kesempatan ini, Departemen Ilmu Komunikasi menghadirkan Sherly Haristya, Ph.D, peneliti TIFA Foundation Indonesia, tamu undangan yaitu beberapa dosen dari universitas lain, serta mahasiswa sebagai peserta. Pelaksanaan Kuliah Dosen Tamu memanfaatkan platform virtual meeting Zoom, mengingat kondisi sekarang pandemi Covid-19 masih belum juga usai.

Kuliah Dosen Tamu dimanfaatkan oleh Sherly Haristya untuk memaparkan mengenai empat model yang mengatur hidup kita dan internet. Empat aturan tersebut meliputi hukum yang mengatur melalui kebijakan pemerintah, norma sosial yang berlaku di masyarakat, kondisi pasar (harga dan ketersediaan), dan arsitektur berkaitan dengan teknologi yang memperbolehkan atau melarang kita dalam berinternet. Penjelasan mengenai topik ini selanjutnya didasarkan pada pertanyaan diskusi, yaitu “Apakah keempat elemen tersebut memiliki peran yang setara dalam mengatur internet dan hidup kita? Bisakah salah satunya memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan yang lainnya?”

Pertanyaan di atas ditanggapi oleh dua dosen tamu yang hadir dalam kuliah ini, yaitu Sam A.S. dan Muhammad Nur Rohman. Keduanya memiliki pandangan yang sama terkait kekuatan keempat model aturan hidup dan internet bahwasanya masing-masing tidak selalu berada di level kekuatan yang sama, tetapi berbeda terkait peraturan yang paling kuat. Sam menyebutkan bahwa norma dan hukum sosial yang berlaku di masyarakat merupakan model terkuat. Sementara Rohman berpandangan bahwa hukum yang dibuat oleh pemerintah merupakan model terkuat dan ketiga model lainnya berkedudukan sebagai model pendukung.

Pembahasan berlanjut pada pertanyaan salah satu peserta diskusi tamu, Permata Pertiwi, yaitu “Bisakah kita mempercayai digital platform dan data-data kita aman karena digital platform lebih mengetahui kita dibandingkan orang terdekat?” Menanggapi pertanyaan Pertiwi, Sherly menyatakan bahwa sebagai pengguna platform digital, kita tidak diperbolehkan untuk memberikan kepercayaan penuh.

“Kita tidak boleh mempercayai digital platform yang memegang data pribadi milik kita. Sebab, pernah ada suatu kejadian di mana Facebook menjual data pribadi penggunanya kepada suatu perusahaan, sehingga sejak saat itu negara berusaha menciptakan peraturan yang melindungi dan mencegah data-data pribadi di internet yang bocor,” tegas Sherly.

Sherly mengapresiasi kebijakan yang diambil oleh negara tersebut dalam mengatasi masalah kebocoran data. Namun, sangat disayangkan, Indonesia belum sigap dalam menyikapi kasus kebocoran dan penjualan data yang marak terjadi belakangan ini. Bahkan, Indonesia sendiri tidak mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara nyata menjadi dasar hukum untuk memberikan tindak tegas terhadap kasus kebocoran dan penjualan data pribadi dalam platform digital.

Terakhir, Sherly menyampaikan bahwa platform digital saat ini melakukan content moderation, yaitu tindakan yang dilakukan untuk membatasi atau meningkatkan akses ke konten dan biasanya berupa konten yang sudah di-take down, mengurangi peringkat konten, demonetisasi, dan sebagainya. Sherly juga membahas mengenai isu content moderation di Indonesia. Fokusnya terletak pada grey area content, yaitu konten yang tidak dilarang dalam kebebasan berekspresi menurut standar internasional ataupun komunitas, tetapi berpotensi mengakibatkan kekerasan dalam dunia nyata. Sherly menyoroti kasus di mana terdapat politisi yang gemar mengunggah konten negatif, bahkan ancaman yang ditujukan kepada wanita berhijab. Ia mendiskusikan mengenai tindakan platform digital dalam melakukan content moderation terkait kasus unggahan politisi tersebut.

Merasa tertarik dengan topik di atas, Ezekiel Allen yang merupakan dosen tamu mengajukan pendapat bahwa tidak semua konten negatif terhadap wanita berhijab harus langsung dihapus atau di-take down karena kita perlu melihat konteks dan penulisnya. Namun, tanggapan berlawanan datang dari Permata Pertiwi.

“Konten-konten seperti itu harus di-take down segera karena dapat menimbulkan kecemasan atau perpecahan di masyarakat dan mengarahkan ke rasisme, tanpa melihat konteks dan siapa yang membuat pernyataan tersebut. Satu komentar saja dapat berdampak besar,” tegas Pertiwi.

Dari sini dapat dilihat, bahwasannya di Indonesia kasus seperti penyebaran konten negatif melalui media sosial masih dipandang sebelah mata oleh beberapa oknum. Konten negatif, tidak peduli siapa penulisnya dan apa konteksnya, jika sudah berbau SARA dan cenderung menyudutkan, tanpa pertimbangan apa pun harus di-take down. Inilah pentingnya pengajaran ilmu konstelasi yang mengatur hidup kita dan internet di era digital. Meski kita hidup mengikuti zaman, tetapi tetap memegang teguh etika dan aturan.

Reporter: Salsabila Febryanti

Penulis: Hikmatul Mufarichah

Editor: Langgeng Irma Salugiasih

More from Ilmu Komunikasi

0 Komentar

You cannot copy content of this page